Sejenak aku terdiam, terpaku menatap tangan waktu yang tak
henti- hentinya berputar. Seakan tak ada jeda bagiku sedikitpun untuk bernapas.
Relung- relung dadaku penuh sesak, nadiku berdetak liar. Aku menutup mataku, berharap
segalanya dapat kembali seperti semula. Tak perlu lagi ada tangisan tertahan
yang harus kusumbat dengan ujung- ujung selimutku, tak perlu ada lagi sayatan-
sayatan abstrak yang memuaskan sakit di hatiku, dan tak perlu ada lagi gerakan
bodoh yang harus kulakukan untuk menutupi segalanya dengan menarik sudut- sudut
bibirku.
Sudah lama aku menderita, cukup dalam bagiku. Bisa saja
orang mengira aku ini orang paling bahagia di muka bumi. Aku tidak pernah
mendapat olokan, aku memiliki banyak teman, aku memiliki bakat yang aku
banggakan, aku memiliki orang tua yang cukup berada, dan aku dianugrahi
kecerdasan dari-Nya. Namun tak jarang pikiran- pikiran tak jelas merasuki
indra- indraku. Membuat lidahku kelu, leherku kering, dan badanku dingin.
Ketakutan sudah menjadi sahabat baikku, dan rasa sakit sudah menjadi
bayanganku.
Wahai masa- masa indah yang mereka katakan, dimanakah
engkau? Tak kah kau lihat warna- warna yang mulai pudar dari mataku? Seolah aku
hanyalah sebuah boneka rusak, tak tahu mau berbuat apa. Ayah, bunda, tak
bisakah kau menerawang melalui sikap-sikapku? Tak bisakah kalian lihat kedalam
isi hatiku? Aku, darah dagingmu sendiri. Atau mungkinkah aku terlalu pandai
bersandiwara?
Terkadang aku ingin tertawa. Tertawa melihat diriku
sendiri. Ketika aku melihat kedalam kejujuran, yang kulihat hanyalah seorang
anak perempuan, menangis, memanggil dalam diam, akan kehidupan lain yang dapat
ia tulis. Ia bernyanyi pada dunia, namun dunia seakan berjalan terlalu cepat
untuk mendengar cicit kesakitan seorang insan manusia. Dunia seakan terlalu
besar untuk seorang anak kecil tak berbekal apapun. Aku ingin sekali tertawa,
walau air mataku mengalir di pipi. Agar diriku tahu aku masih bisa bangkit lagi
Setiap malam aku menuliskan melodi- melodi mimpi. Yang
mungkin terdengar kecil dan tak berarti. Setiap malam aku berdoa, meminta
kekuatan untuk melalui satu hari lagi. Namun tanganku seakan telah diatur,
seakan mataku takkan puas bila belum melihat cucuran kehidupan jatuh dalam air.
Setiap malam aku bersembunyi, aku takut bila Yang Kuasa datang dan menghukumku
akan kejahatanku.
Kembali aku menatap dinding- dinding dingin, keringat
dingin mengucur deras di keningku. Tik, tok, tik, tok, tawa sang penguasa
waktu. Aku pun ikut tertawa mendengarnya tertawa. Kulayangkan pandangku pada
sisa pil- pil yang berjatuhan di sekitar botol kaca, lalu kualihkan pandanganku
pada lengan- lenganku yang berlumur cairan kehidupan. Berapa lama lagi? Berapa
lama lagi yang kuperlu untuk meninggalkan tempat terkutuk ini? Akankah aku
pergi ke tempat penghukuman? Ah, biarlah. Biar kunikmati segala kesakitan yang
memang layak kutanggung, entah karena dosaku atau bukan, aku tak perduli. Aku
kembali tertawa, aku tersenyum pada gambaran diriku, aku tersenyum pada sosok
putih diatasku, dan aku menutup mataku.
ini terlalu keren, Kak:)
ReplyDeleteso deep :')
ReplyDeletedeep as well
ReplyDeleteKakk aku izin ngambil beberapa kalimat yaa
ReplyDeleteAku izin analisis ya
ReplyDeleteEntahlah.ini persis seperti saya.
ReplyDeleteKa Izin analisis kata katanya ua
ReplyDeleteperfect
ReplyDeleteterlalu perfect, very suitable for my life:)
ReplyDeletekak aku izin jadiin ini reverensi ya kak, terimakasih
ReplyDeletekak izin buat tugas ya
ReplyDeleteHalo kak izin buat tugas ya kak
ReplyDeleteBagus
ReplyDelete