“Apa?”, tanyanya.
Rebecca mengangkat bahunya sambil tersenyum lemah tak tentu
arahnya. “Tak apa”, akunya. Si anak lelaki berparas emo itu menyipit, lalu
tertawa. Ia melangkahkan tubuh tingginya itu kearah barisan kursi yang diduduki
Rebecca. Rebecca yang melihat reaksi anehnya pun mengernyitkan keningnya. Apa
gerangan yang aneh dari anak itu, pikirnya. Lelaki itu duduk 2 bangku jaraknya
dari Rebecca.
“Sungguh aneh”, ia tertawa pelan sembari mengaitkan
jemarinya yang panjang dan sungguh pucat. Kerutan di dahi Rebecca semakin
dalam. Apa pula maksudnya? “Sungguh aneh melihat seorang wanita muda duduk
sendirian di UGD dengan keadaan sehat-sehat saja. Siapa pula yang sakit?”
Rebecca terdiam sejenak. Ia sudah cukup kaget dengan
kedatangan lelaki aneh di dini hari ini, apalagi yang cukup peduli untuk
menanyakan keadaannya. “Tak ada”, ucapnya pelan. Sungguh aneh bagi Rebecca
untuk bisa mengakui kebenaran pada seseorang, lebih aneh lagi baginya
mengetahui bahwa seseorang itu sepenuhnya asing.
“Aku memang tak mengenalmu, tapi aku dapat melihat
kegelisahanmu. Jari- jarimu terus berkedut, menandakan entah kau sedang
berpikir atau sakit perut”, ujarnya.
Rebecca tertawa. “Sakit perut?”
Si lelaki emo ikut tersenyum. “Kemungkinan”, ia tertawa
kecil. “Kau tak berhenti mengigit bibirmu, dan kakimu berpindah posisi setiap
saat. Postur dudukmu tak pernah bertahan lebih dari lima menit, serta kau tak
bisa berhenti bernapas dalam”
Rebecca terdiam, ia menatap lekat- lekat laki- laki disampingnya.
Bagaimana bisa ia mengerti detil- detil kecil tentang dirinya? “Bagaimana
bisa-?”, ia mulai bertanya.
“Tahu?”, potong si lelaki emo. “Kau tak pernah sadar aku
ada di ujung barisan kursi sejak tahun lalu”
“Tahun lalu?”, Rebecca terkesiap. “Lalu bagaimana bisa kau
baru berbicara denganku hari ini?”
Si lelaki emo menggidikkan bahunya. “Bukankah ini tepat
setahun kematiannya?”
Keheningan tak pernah berasa begitu memekakkan telinga
Rebecca saat itu. Ia begitu kaget, jantungnya menari dengan cepat, seakan- akan
bisa copot kapan saja. Ia menarik napas dalam, seketika ia tersedak oleh
kebenaran, oleh kenyataan yang disodorkan oleh si orang asing di dekatnya.
Rebecca merasa hatinya pedih, ia merasakan panas di matanya, tanda tak asing
baginya untuk mulai menangis tersedu- sedu.
“Kau tahu, dunia memang kejam. Aku bisa merasakan apa yang
kau rasakan. Mungkin kau tak ingat, atau mungkin kau berusaha tak mengingatnya.
Aku adalah salah satu orang yang turut berkabung malam itu. Aku memang tak
mengerti jalannya hidup”, si lelaki emo mengambil napas lalu tertawa. “Adikku,
Cameron, direnggut oleh kecelakaan tragis malam itu. Aku cukup terpukul.
Apalagi ia hanyalah satu- satunya keluarga yang kumiliki. Aku memang harusnya
bersyukur akan keselamatan yang bisa kudapatkan, menghitung- hitung saat itu
juga aku sedang menyetir. Namun sama sepertimu, terkadang aku dijejali oleh
perasaan bersalah. Kurasa itu normal. Siapapun yang selamat dari bahaya maut
pasti merasakannya”
Rebecca menengadahkan kepalanya, lalu menutup matanya. “Tak
pernah aku merasa sebersalah ini. Jika aku lebih hati- hati, mungkin ia masih
ada disini. Mungkin ia masih bisa tertawa bersamaku. Mungkin ia masih bisa
melanjutkan cita- citanya. Tak sewajarnya aku menyetir sore itu. Jika aku tak
salah mengambil jalan, kita semua pasti selamat. Aku tak bisa berhenti
menyalahkan diriku. Aku-“
Tiba- tiba kehangatan menyelimuti Rebecca. Ia terdiam,
namun dalam hitungan detik bahunya berguncang keras, semua emosi dalam setahun
yang tak pernah ia luapkan sekarang keluar, membanjiri dirinya. Ia terisak, tak
kuasa menahan tangisan pilunya. Si lelaki emo terdiam sembari menyangga tubuh
wanita muda dalam pelukannya yang masih terisak- isak.
Setelah beberapa menit mereka terpatung seperti itu, si
lelaki emo melepaskan pelukannya. “Terkadang manusia hanya butuh sebuah
pelukan”
Rebecca tertawa tersendat sembari mengelap air mata di
pipinya. “Terimakasih. Aku tak pernah menyangka”.
“Tak apa”, si lelaki emo tertawa sambil berdiri
merenggangkan tubuhnya. “Kau berniat makan larut malam? Atau itu bisa dihitung
sebagai sarapan ya?”
Rebecca tertawa lepas. “Aku tak tahu, yang pasti aku benar-
benar lapar”
Si lelaki emo tersenyum “Aku tahu benar restoran 24 jam
yang menyajikan makanan terlezat sejagat raya”
“Kau melebih- lebihkan”, dengus Rebecca.
“Aku tak bercanda”, tawanya. “Sebelum aku lupa. Namaku
Willion, namamu?”
“Rebecca. Rebecca Vince”, ucapnya seraya berjalan mengikuti
langkah lelaki emo yang berhasil meruntukan tiang- tiang emosinya di dini hari
yang dingin itu.
No comments:
Post a Comment