Monday, May 27, 2013

Cerpen Singkat - Kematian


“Apa?”, tanyanya.
Rebecca mengangkat bahunya sambil tersenyum lemah tak tentu arahnya. “Tak apa”, akunya. Si anak lelaki berparas emo itu menyipit, lalu tertawa. Ia melangkahkan tubuh tingginya itu kearah barisan kursi yang diduduki Rebecca. Rebecca yang melihat reaksi anehnya pun mengernyitkan keningnya. Apa gerangan yang aneh dari anak itu, pikirnya. Lelaki itu duduk 2 bangku jaraknya dari Rebecca.
“Sungguh aneh”, ia tertawa pelan sembari mengaitkan jemarinya yang panjang dan sungguh pucat. Kerutan di dahi Rebecca semakin dalam. Apa pula maksudnya? “Sungguh aneh melihat seorang wanita muda duduk sendirian di UGD dengan keadaan sehat-sehat saja. Siapa pula yang sakit?”
Rebecca terdiam sejenak. Ia sudah cukup kaget dengan kedatangan lelaki aneh di dini hari ini, apalagi yang cukup peduli untuk menanyakan keadaannya. “Tak ada”, ucapnya pelan. Sungguh aneh bagi Rebecca untuk bisa mengakui kebenaran pada seseorang, lebih aneh lagi baginya mengetahui bahwa seseorang itu sepenuhnya asing.
“Aku memang tak mengenalmu, tapi aku dapat melihat kegelisahanmu. Jari- jarimu terus berkedut, menandakan entah kau sedang berpikir atau sakit perut”, ujarnya.
Rebecca tertawa. “Sakit perut?”
Si lelaki emo ikut tersenyum. “Kemungkinan”, ia tertawa kecil. “Kau tak berhenti mengigit bibirmu, dan kakimu berpindah posisi setiap saat. Postur dudukmu tak pernah bertahan lebih dari lima menit, serta kau tak bisa berhenti bernapas dalam”
Rebecca terdiam, ia menatap lekat- lekat laki- laki disampingnya. Bagaimana bisa ia mengerti detil- detil kecil tentang dirinya? “Bagaimana bisa-?”, ia mulai bertanya.
“Tahu?”, potong si lelaki emo. “Kau tak pernah sadar aku ada di ujung barisan kursi sejak tahun lalu”
“Tahun lalu?”, Rebecca terkesiap. “Lalu bagaimana bisa kau baru berbicara denganku hari ini?”
Si lelaki emo menggidikkan bahunya. “Bukankah ini tepat setahun kematiannya?”
Keheningan tak pernah berasa begitu memekakkan telinga Rebecca saat itu. Ia begitu kaget, jantungnya menari dengan cepat, seakan- akan bisa copot kapan saja. Ia menarik napas dalam, seketika ia tersedak oleh kebenaran, oleh kenyataan yang disodorkan oleh si orang asing di dekatnya. Rebecca merasa hatinya pedih, ia merasakan panas di matanya, tanda tak asing baginya untuk mulai menangis tersedu- sedu.
“Kau tahu, dunia memang kejam. Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan. Mungkin kau tak ingat, atau mungkin kau berusaha tak mengingatnya. Aku adalah salah satu orang yang turut berkabung malam itu. Aku memang tak mengerti jalannya hidup”, si lelaki emo mengambil napas lalu tertawa. “Adikku, Cameron, direnggut oleh kecelakaan tragis malam itu. Aku cukup terpukul. Apalagi ia hanyalah satu- satunya keluarga yang kumiliki. Aku memang harusnya bersyukur akan keselamatan yang bisa kudapatkan, menghitung- hitung saat itu juga aku sedang menyetir. Namun sama sepertimu, terkadang aku dijejali oleh perasaan bersalah. Kurasa itu normal. Siapapun yang selamat dari bahaya maut pasti merasakannya”
Rebecca menengadahkan kepalanya, lalu menutup matanya. “Tak pernah aku merasa sebersalah ini. Jika aku lebih hati- hati, mungkin ia masih ada disini. Mungkin ia masih bisa tertawa bersamaku. Mungkin ia masih bisa melanjutkan cita- citanya. Tak sewajarnya aku menyetir sore itu. Jika aku tak salah mengambil jalan, kita semua pasti selamat. Aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku. Aku-“
Tiba- tiba kehangatan menyelimuti Rebecca. Ia terdiam, namun dalam hitungan detik bahunya berguncang keras, semua emosi dalam setahun yang tak pernah ia luapkan sekarang keluar, membanjiri dirinya. Ia terisak, tak kuasa menahan tangisan pilunya. Si lelaki emo terdiam sembari menyangga tubuh wanita muda dalam pelukannya yang masih terisak- isak.
Setelah beberapa menit mereka terpatung seperti itu, si lelaki emo melepaskan pelukannya. “Terkadang manusia hanya butuh sebuah pelukan”
Rebecca tertawa tersendat sembari mengelap air mata di pipinya. “Terimakasih. Aku tak pernah menyangka”.
“Tak apa”, si lelaki emo tertawa sambil berdiri merenggangkan tubuhnya. “Kau berniat makan larut malam? Atau itu bisa dihitung sebagai sarapan ya?”
Rebecca tertawa lepas. “Aku tak tahu, yang pasti aku benar- benar lapar”
Si lelaki emo tersenyum “Aku tahu benar restoran 24 jam yang menyajikan makanan terlezat sejagat raya”
“Kau melebih- lebihkan”, dengus Rebecca.
“Aku tak bercanda”, tawanya. “Sebelum aku lupa. Namaku Willion, namamu?”
“Rebecca. Rebecca Vince”, ucapnya seraya berjalan mengikuti langkah lelaki emo yang berhasil meruntukan tiang- tiang emosinya di dini hari yang dingin itu.

No comments:

Post a Comment